Abu
Qudamah dahulu dikenal sebagai orang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad
fi sabilillah. Tidak pernah dia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya
perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali dia selalu ikut serta
berjuang di pihak kaum muslimin. Suatu ketika sedang ia duduk-duduk di Masjidil
Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: “Hai Abu Qudamah, anda
adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa
paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad.”
“Baiklah,
aku akan menceritakannya bagi kalian,” kata Abu Qudamah.
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos kawalan dekat sempadan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Iraq, dekat sungai Eufrat).
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos kawalan dekat sempadan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Iraq, dekat sungai Eufrat).
Di
sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku.
Di samping itu aku mengajak warga kota melalui masjid-masjid, untuk ikut serta
dalam jihad dan berinfaq fi sabilillah. Menjelang malamnya, ada orang yang
mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi
wajahnya dengan pakaiannya.
“Apa
yang anda inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” jawabku.
“Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” jawabku.
“Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka
wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian
berpaling sambil menangis. Pada kertas itu tertulis, “Anda mengajak kami untuk
ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka ku potong dua pintal
rambut kesayanganku agar anda jadikan sebagai tali kuda anda. Ku harap bila
Allah melihatnya pada kuda anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku kerananya.”
“Demi
Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian
pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Syurga-Nya,” kata Abu
Qudamah.
Keesokan
harinya, aku bersama sahabatku berangkat meninggalkan Raqqah.
Tatkala kami tiba dimedan Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil, “Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” laung orang itu.
Tatkala kami tiba dimedan Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil, “Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” laung orang itu.
“Kalian
berangkat dahulu, biar aku yang mencari siapa orang ini,” perintahku kepada
para sahabatku.
Ketika
aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, “Segala puji bagi
Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak penyertaanku.”
“Apa
yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” kataku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” kataku.
Ketika
ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan
purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai
anakku, apakah kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” jawabnya.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” jawabnya.
Bagaimana
dengan ibumu, masih hidupkah dia?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan jagalah ia baik-baik, kerana syurga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tidak kenal ibuku?” tanyanya
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik amanah itu,” katanya.
“Amanah yang mana,” tanyaku
“Dialah yang mengamanahkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku kehairanan.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan jagalah ia baik-baik, kerana syurga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tidak kenal ibuku?” tanyanya
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik amanah itu,” katanya.
“Amanah yang mana,” tanyaku
“Dialah yang mengamanahkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku kehairanan.
“Subhanallah..!!
Alangkah pelupanya anda ini, tidak ingatkah anda dengan wanita yang datang
malam tadi menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya , aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.
“Ya , aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.
“Ibuku
berkata, “Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah
kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah.
Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan bapa saudaramu di Jannah. Jika Allah mengurniaimu mati syahid, maka mintalah syafa’at bagiku.”
Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan bapa saudaramu di Jannah. Jika Allah mengurniaimu mati syahid, maka mintalah syafa’at bagiku.”
Kemudian
ibu memelukku, lalu mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya
Allah.. Ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku,
kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya.”
“Aku
benar-benar takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera
merayu, “Kerananya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk
berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah
hafal al-Qur’an. Aku juga pandai menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah
meremehkanku hanya karena usiaku yang masih muda,” kata anak itu memelas.
Setelah
mendengar permintaannya aku tidak upaya melarangnya, maka kusertakanlah ia
bersamaku.
Demi
Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cekap darinya. Ketika
pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat,
dialah yang paling sibuk menguruskan kami, sedang lidahnya tidak pernah
berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Kemudian
kamipun singgah di suatu tempat dekat pos sempadan. Semasa itu matahari hampir
tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan
hidangan untuk berbuka dan makan malam, pemuda itu bersumpah atas nama Allah
bahawa ialah yang akan menyiapkannya.
Tentu saja kami melarangnya kerana ia baru saja keletihan kerana perjalanan yanh jauh tadi.
Tentu saja kami melarangnya kerana ia baru saja keletihan kerana perjalanan yanh jauh tadi.
Akan
tetapi pemuda itu berkeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Maka ketika
kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, “Jauhkan sedikit
agar asap kayu apimu tidak mengganggu kami.”
Maka
pemuda itu pun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan
tetapi ia itu tidak kunjung tiba. Mereka merasa bahawa ia agak terlambat
menyiapkan hidangan mereka.
“Hai
Abu Qudamah, tengoklah pemuda itu. Ia telah terlalu lama memasak.
Apa dah jadi dengannya?” pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati pemuda itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tetapi kerana terlalu letih, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Apa dah jadi dengannya?” pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati pemuda itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tetapi kerana terlalu letih, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Melihat
keadaanya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu
tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan
tangan hampa, kerana sampai sekarang kami belum memakan apa-apa.
Akhirnya
kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mula menyediakan
masakan, sambil memasak, sesekali aku memandang pemuda itu. Suatu ketika
terlihat olehku bahawa anak muda itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan senyumnya
makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.
Aku
merasa takjub melihat tingkah lakunya itu, kemudian ia tersentak dari mimpinya
dan terbangun.
Ketika
melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan terburu-buru
mengatakan, “Pakcik, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan
bagi kalian.”
“Ah
tidak, sebenarnya kamu tidak terlambat ,” jawabku.
“Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad,” kata pemuda itu.
“Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad,” kata pemuda itu.
“Tidak,”
sahutku, “Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami
sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur
tadi? Keadaanmu sungguh menghairankan,” ujarku.
“Pak
cik, itu cuma mimpi yang kulihat sewaktu tidur,” kata pemuda itu.
“Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah,
tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,”
sahut pemuda itu.
“Tidak boleh “Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Tidak boleh “Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah,
tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,”
sahut pemuda itu.
“Tidak boleh, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya,” kataku.
“Tidak boleh, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya,” kataku.
“Pak
cik, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah
itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan
dalam al-Qur’an.
Ketika
aku berjalan-jalan di dalamnya dengan rasa kagum, tiba-tiba terlihat olehku
sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, tiangnya
dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.
Di tiang
itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan
nampaklah gadis-gadis remaja yang cantik jelita, wajah mereka bersinar bak
rembulan.”
Kutatap
wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar
biasa, kelu lidahku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari
mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di
sampingnya seraya mengatakan, “Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah
calon suaminya.. benar, dialah orangnya!”
Aku
tidak faham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, “Kamukah
al-Mardhiyyah..?”
“Aku
hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah..” katanya.
“Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?” tanya gadis itu.
“Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?” tanya gadis itu.
“Kemarilah..
masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu,” serunya.
Tiba-tiba
kulihat diatasnya ada sebuah bilik dari emas merah.. dalam bilik itu ada tilam
yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang
berkilauan.
Dan
di atasnya.. seorang gadis remaja dengan wajah bersinar laksana surya!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku
dan hilanglah akalku kerana tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, “Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku.”
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, “Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku.”
Mendengar
suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum
tanganku sampai kepadanya, ia berkata, “Wahai kekasihku dan tambatan hatiku..
semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih
tersisa sedikit.. InsyaAllah besok kita akan bertemu selepas Asar.” Aku pun
tersenyum dan senang mendengarnya.”
Abu
Qudamah melanjutkan, “Selesai mendengar cerita si pemuda yang indah tadi, aku
berkata kepadanya, “InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik.”
Lalu
kami pun makan hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami
menuju pos perbatasan.
Setibanya
di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan
harinya setelah menunaikan sholat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran
untuk menghadapi musuh.
Panglima
bangun untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan Surat al-Anfaal. Ia
mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid,
sambil terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.
Abu
Qudamah menceritakan, “Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati
masing-masing dari mereka mengumpulkan anak buahnya di kelilingnya. Adapun si
pemuda, ia tidak punya ayah yang memanggilnya, atau bapa saudara yang
mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.
Akupun
terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu terlihatlah olehku
bahawa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah ku kejar dia, ku sibak
barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata, “Wahai
anakku, apakah engkau ada pengalaman berperang..?”
“Tidak..
tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,”
jawab pemuda itu.
“Wahai
anakku, sesungguhnya perkara ini tidak semudah yang engkau bayangkan, ini
adalah peperangan. Satu pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang,
ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai
anakku, sebaiknya engkau ambil tempat di belakang saja. Jika kita menang engkaupun
ikut menang, namun jika kita kalah engkau tidak menjadi korban pertama,”
pintaku kepadanya.
Lalu
dengan tatapan penuh kehairanan ia berkata,” Pak cik, engkau berkata seperti
itu kepadaku..!?”
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Pakcik..
apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?” tanyanya.
“A’uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali kerana lari dari neraka dan memburu syurga,” jawabku.
“A’uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali kerana lari dari neraka dan memburu syurga,” jawabku.
Lalu
kata si pemuda, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman,
apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur)
di waktu itu, kecuali berbelok untuk (strategi) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya itu.”(QS. Al-Anfaal: 15-16)
“Adakah
Pakcik menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku
adalah neraka?” tanyanya.
Akupun
hairan dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut.
Kemudian aku berusaha menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan
seperti yang engkau katakan.” Namun tetap saja ia berkeras tidak mau berpindah
ke belakang.
Akupun
menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru
menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu
perangpun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.
Dalam
kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diiringi gemerincing
pedang dan hujan panah, lalu mulalah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau
hanyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan
tubuh-tubuh tidak bernyawa terbujur bermandi darah.
Demi
Allah, perang itu telah menyibukkan setiap orang akan dirinya sendiri dan
melupakan orang lain. Sebatan dan kilatan pedang di atas kepala yang tidak
henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku api yang
menyala di atas kami.
Perangpun
makin memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan sampai matahari
tergelincir dan masuk waktu zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan
menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari
tunggang-langgang.
Setelah
mereka kalah dan berundur, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk
menunaikan sholat zhuhur. Selepas sholat, mulailah masing-masing dari kami
mencari sanak keluarganya di antara para korban perang.
Sedangkan
si pemuda itu.. tidak ada seorangpun yang mencarinya atau menanyakan khabarnya.
Maka kukatakan dalam hati, “Aku harus mencarinya dan mengetahui keadaannya,
barangkali ia terbunuh, terluka atau jatuh dalam tawanan musuh?”
Akupun
mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan kiri
kalau-kalau ia terlihat olehku. Di masa itulah aku mendengar ada suara yang
lemah di belakangku yang mengatakan, “Saudara-saudara.. tolong panggilkan pak
cik ku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari.”
Aku
menoleh kearah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si pemuda dan
ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia terpijak oleh pasukan
berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Badannya terkoyak-koyak (luka) dan
tulangnya patah teruk.
Ia
terlantar seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di
hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku, “Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di
sampingmu..!!”
“Segala
puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu..
maka dengarlah baik-baik wasiatku ini..” kata pemuda itu.
Abu
Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tidak kuasa menahan tangisku. Aku
teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di
Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya,
lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku
menyingsingkan sebahagian kainku lalu mengusap darah yang menutupi wajah
pucatnya itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, “Pak cik.. usaplah darahku
dengan pakaianku, dan jangan engkau usap dengan pakaianmu.”
Demi
Allah, aku tidak kuasa menahan tangisku dan tidak tahu harus berkata apa.
Sesaat kemudian, anak muda itu berkata dengan suara yang lemah, “Pak cik..
berjanjilah bahawa sepeninggalku nanti engkau akan kembali ke Raqqah, dan
memberi khabar gembira bagi ibuku bahawa Allah telah menerima hadiahnya, dan
bahawa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang
berundur. Sampaikan pula kepadanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada,
akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan baba saudaraku di jannah.
Pak
cik.. aku khawatir kalau nanti ibu tidak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah
pakaianku yang berlumuran darah ini, kerana bila ibu melihatnya ia akan yakin
bahawa aku telah terbunuh, dan insyaaAllah kami bertemu kembali di jannah.
Pak
cik.. setibanya engkau di rumahku, akan engkau temui seorang gadis kecil
berumur sembilan tahun. Ia adalah adikku.. tidak pernah aku masuk rumah kecuali
ia menyambutku dengan keceriaan, dan tidak pernah aku pergi kecuali diiringi
isak tangis dan kesedihannya. Ia begitu terkejut ketika mendengar kematian ayah
tahun lalu, dan sekarang ia akan terkejut mendengar kematianku.
Ketika
melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, “Abang..
jangan engkau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang.. !!”
Pak
cik.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang
manis. Katakan kepadanya bahawa abangmu mengatakan, “Allah-lah yang akan
menggantikanku mengurusmu.”
Abu
Qudamah melanjutkan, “Kemudian anak muda itu berusaha menguatkan dirinya, namun
nafasnya mulai sesak dan kata-katanya tidak jelas. Ia berusaha kedua kalinya
untuk menguatkan dirinya dan berkata,
“Pak
cik.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi
Allah, masa ini aku benar-benar sedang melihat al-Mardhiyyah dan mencium bau
wanginya.”
Lalu
pemuda itu mulai sekarat, dahinya berpeluh, nafasnya tersekat-sekat dan
kemudian wafat di pangkuanku.”
Abu
Qudamah berkata, “Maka kulepaskan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu
kuletakkan dalam sebuah bekas, kemudian kukebumikan dia. Selesai
mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan
menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka
akupun kembali ke Raqqah. Aku tidak tahu siapa nama ibunya dan dimana rumah
mereka.
Tatkala
aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah. Di depan
rumah itu ada gadis kecil berumur Sembilan tahun yang berdiri menunggu
kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang lalu di depannya.
Setiap kali melihat orang yang baru pulang dari bepergian ia bertanya, “Pak
cik.. Anda datang dari mana?”
“Aku
datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu
melintaslah orang kedua, dan tanyanya, “Akhi, Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Abangku ada bersamamu?” tanya gadis itu.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Abangku ada bersamamu?” tanya gadis itu.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu
melintasalah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus
asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata,
“Mengapa mereka semua kembali tetapi abangku tidak kunjung kembali?”
Melihat
ia seperti itu, akupun datang menghampirinya. Ketika ia melihat kesan-kesan
safar padaku dan beg yang kubawa, ia bertanya, “Pak cik.. Anda datang dari
mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu?” tanyanya.
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah
ibumu?” tanyaku.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.
Ketika
perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup pakaiannya. Ketika
aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Hai Abu Qudamah,
engkau datang hendak mengucapkan takziah atau memberi khabar gembira?”
Maka
tanyaku, “Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang engkau maksud
dengan ucap takziah dan khabar gembira itu?”
“Jika
engkau hendak mengatakan bahawa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam
keadaan maju dan pantang berundur bererti engkau datang membawa khabar gembira
untukku, kerana Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya
sejak tujuh belas tahun silam.
Namun
jika engkau hendak mengatakan bahawa anakku kembali dengan selamat dan membawa
ghanimah, bererti engkau datang untuk bertakziah kepadaku, kerana Allah belum
berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan
tua.
Maka
ku katakan, “Kalau begitu aku datang membawa khabar gembira untukmu.
Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebahagian darahnya hingga ia redha.”
Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebahagian darahnya hingga ia redha.”
‘Tidak!,
kurasa engkau tidak berkata jujur,” kata si ibu sambil memandang kepada bekas
yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan tenang.
Maka
ku keluarkanlah isi beg tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang
berlumuran darah. Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu,
diikuti titisan darah yang bercampur beberapa helai rambutnya.
“Bukankah
ini adalah pakaiannya.. dan ini serbannya.. lalu ini seluarnya yang engkau
kenakan kepada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?” kataku.
“Allaahu Akbar..!!” teriak si ibu kegirangan.
“Allaahu Akbar..!!” teriak si ibu kegirangan.
Adapun
gadis kecil tadi, ia justru meraung seperti histeris lalu jatuh terkulai tidak
sedarkan diri. Tidak lama kemudian ia mulai merintih, “Aakh..! aakh..!”
Si
ibu merasa cemas, ia bergegas masuk kedalam mengambil air untuk puterinya,
sedang aku duduk di samping kepalanya, menjiruskan air kepadanya.
Demi
Allah, ia tidak sedang merintih.. ia tidak sedang memanggil-manggil abangnya.
Akan tetapi ia sedang sekarat!! Nafasnya semakin berat.. dadanya kembang
kempis.. Lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.
Setelah
puterinya tiada, ia mendakapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup
pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam, “Ya Allah,
aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya
Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di
jannah-Mu.”
Abu
Qudamah berkata, “Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan
membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah wang, atau menceritakan kepada
orang-orang tentang kesabarannya sehingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi
sungguh, ia tidak membukanya untukku ataupun menjawab seruanku.
“Sungguh
demi Allah, tidak pernah ku alami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,”
kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya.
No comments:
Post a Comment